KLIKKAMI.NEWS - Setiap kali masa pemilihan ketua RT atau RW tiba, sering kali kita melihat dinamika yang menarik — bahkan tak jarang memanas. Saling lobi, adu pengaruh, bahkan perselisihan terbuka, seolah jabatan ini adalah puncak dari kekuasaan yang harus dimenangkan.
Padahal, jika kita jujur menilai, jabatan RT dan RW adalah bagian paling bawah dari struktur pemerintahan. Namun justru di situlah letak pentingnya: mereka adalah garda terdepan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Segala persoalan lingkungan, konflik antarwarga, distribusi bantuan, keamanan, hingga urusan sosial — semua bermuara di pundak mereka.
Sayangnya, tidak semua yang mengincar posisi ini memahami beban tanggung jawab yang menyertainya. Yang lebih mengkhawatirkan, terkadang jabatan ini dijadikan ajang unjuk kuasa, bukan pengabdian. Ketika ambisi pribadi lebih dominan daripada niat melayani, maka tidak heran jika jabatan yang seharusnya menjadi perekat justru menjadi sumber perpecahan.
Mari kita renungkan kembali: jika seseorang belum bisa rukun dengan sesama warga, bagaimana mungkin ia bisa memimpin “rukun tetangga”? Jika belum bisa menenangkan, memediasi, dan menyatukan, lalu apa makna kepemimpinan yang ia perjuangkan?
RT dan RW seharusnya menjadi teladan. Mereka adalah pribadi yang rela mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, bahkan harta demi kenyamanan dan kedamaian lingkungan. Jabatan ini tidak menjanjikan prestise atau keuntungan materi, tapi menuntut keikhlasan dan tanggung jawab sosial yang besar.
Kita semua patut bertanya pada diri sendiri:
Apakah kita menginginkan jabatan ini karena ingin dihormati, atau karena ingin mengabdi?
Apakah kita mencari pengaruh, atau benar-benar ingin menjadi jembatan yang menyatukan warga?
Jabatan RT dan RW bukan ajang rebutan. Ini amanah. Bukan soal kedudukan, tapi tentang kepercayaan.
Bukan panggung kekuasaan, tapi ladang pengabdian.
Karena sejatinya, pemimpin yang baik bukan yang sibuk menuntut penghormatan,tetapi yang tulus bekerja meski tanpa tepuk tangan.(*)



